Kamis, 11 Juli 2013

Ulasan Ramadhan: Sidang Isbat dan "Wujudul Hilal"


Berita-Seputar-Ramadhan.BlogSpot.com - Sidang isbat penetapan awal Ramadhan 1434 H diadakan oleh Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama RI di Jakarta, pada 8 Juli 2013 lalu. Selain anggota Badan Hisab dan Rukyat (BHR) Kementerian Agama Republik Indonesia, sidang juga dihadiri oleh duta-duta besar negara sahabat, khususnya dari negara-negara Islam atau yang berpenduduk mayoritas Muslim serta komponen lainnya yang terkait.


Selain menghimpun seluruh pendapat dari 26 sistem hisab di Indonesia, yang sebelumnya telah dikupas-tuntas dalam forum temu kerja hisab rukyat nasional setiap tahunnya, sidang juga menghadirkan laporan-laporan observasi hilaal dari berbagai penjuru di Indonesia.


Kementerian Agama menggelar rukyat hilal pada 53 titik observasi di segenap penjuru Indonesia. Mayoritas telah dilengkapi dengan instrumen astronomi termutakhir berupa teleskop berpenyangga (mounting) otomatik yang dilengkapi kamera serta jejaring internet sebagai hasil kerjasama Observatorium Bosscha, Kementerian Komunikasi dan Informasi dan Kementerian Agama.


Dengan demikian, teleskop akan secara otomatis langsung menyasar posisi Bulan setiap saat. Sementara, citra yang dihasilkannya langsung ditayangkan ( real time) ke publik. Selain di titik-titik itu, beberapa Kementerian Agama kabupaten/kota juga menggelar rukyat hilaal atas inisiatif sendiri dengan instrumen yang dimilikinya seperti binokuler atau teodolit.


Ormas Islam seperti NU pun menggelar rukyat sendiri dengan titik jauh lebih banyak hingga mencapai ratusan buah, meski keterbatasan membuat mayoritas masih mengandalkan mata semata tanpa alat bantu optik apapun. Seluruh titik ini melaporkan hasilnya ke forum sidang isbat.


Luasnya wilayah Indonesia yang merentang dari Sabang hingga Merauke sementara Matahari baru terbenam di Sabang pada pukul 18.56 WIB membuat laporan rukyat terakhir akan tiba di sidang isbat setelah pukul 19.00 WIB. Jika tidak ada satupun titik observasi di Indonesia bagian timur dan tengah yang melaporkan keberhasilan melihat hilal, maka sidang baru dimulai selepas laporan rukyat dari Aceh diterima. Dan bila sidang berlangsung lancar tanpa perdebatan berkepanjangan, Keputusan Menteri Agama akan dinyatakan sekitar pukul 20.00 WIB.


Sebagian orang kerap salah paham memandang sidang isbat, yang dianggap sebagai sidang bertele-tele dan memakan waktu lama. Namun, luasnya wilayah Indonesia-lah yang memaksa Keputusan Menteri Agama baru dinyatakan saat Papua dan sekitarnya telah memasuki pukul 22.00 WIT, sementara Sulawesi dan Nusa Tenggara beranjak ke pukul 21.00 WITA.


Terkecuali jika terjadi situasi seperti penetapan Idul Fitri 1433 H (2012) lalu, di mana sidang berlangsung lebih cepat karena hilal terlihat dari Kupang (NTT) dan Makassar (Sulawesi Selatan), lengkap dengan citranya.


Menteri Agama menetapkan 1 Ramadhan 1434 H bertepatan dengan Rabu 10 Juli 2013. Sebabnya elemen-elemen geometris Bulan di Indonesia yang masih jauh di bawah limit kritis. Jika mengacu pada peta yang dilansir Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika dengan elevasi pada paras air laut rata-rata, maka beda tinggi Bulan-Matahari di Indonesia merentang antara -0,2 hingga +1,2 derajat (tinggi Bulan terkoreksi antara -0,7 hingga +0,2 derajat), umur Bulan bervariasi antara +1,3 hingga +4,7 jam, elongasi Bulan-Matahari bervariasi antara 4,5 hingga 4,9 derajat dan Lag Bulan bervariasi antara -3,3 hingga +3,4 menit.


Berdasarkan histori praktik rukyat hilal yang telah berlangsung di Indonesia hingga saat ini, pada elemen geometris tersebut keberhasilan melihat hilal adalah mustahil bahkan meski dibidik dengan instrumen teleskop tercanggih sekalipun.


Namun, demikian bagi 'kriteria' wujudul hilaal yang tak mensyaratkan observasi, elemen fisis Bulan telah memenuhi syarat wujudul hilaal khususnya bagi sebagian Indonesia. Demikian pula bagi sebagian pihak yang berbasis sistem hisab al-Mansyuriyah dan memadukannya dengan rukyatul hilal meski sejatinya sistem hisab ini tergolong kurang akurat.


Bagi sistem hisab al-Mansyuriyah, umur Bulan di Indonesia telah lebih dari 7 jam sehingga 'tinggi' Bulan, menurut mereka, yang dirumuskan secara sederhana sebagai umur Bulan dibagi 2, telah mencapai +3,5 derajat. Maka, bagi dua kalangan ini 1 Ramadhan akan bertepatan dengan Selasa 9 Juli 2013.


Wujudul Hilal dan al-Mansyuriyah

Meski telah diupayakan sebagai persepakatan para pihak terkait, 'kriteria' imkan rukyat revisi belum sepenuhnya diterima oleh segenap pihak. Misalnya Muhammadiyah, yang masih tetap bersikukuh menggunakan 'kriteria' wujudul hilal yang memiliki rumusan sederhana, yakni Lag Bulan sekitar -2 menit. Muhammadiyah beralasan, kriteria berbasis beda tinggi Bulan-Matahari (atau tinggi Bulan dan variasinya) tak bisa digunakan karena tak menjamin kepastian akibat beragamnya pendapat cendekiawan falak dalam menetapkan batas minimum beda tinggi Bulan-Matahari agar Bulan berstatus hilaal.


'Kriteria' imkan rukyat pun dipandang hanya sebagai persepakatan tanpa dasar ilmiah. Dengan mengasumsikan (menganggap) bahwa hilal adalah Bulan yang masih menyembul di atas cakrawala barat saat Matahari terbenam pasca konjungsi, maka Muhammadiyah mengadopsi wujudul hilal dan mengabaikan beda tinggi Bulan-Matahari, berapapun nilainya.


Dalam 'kriteria' ini, peranan garis tinggi Bulan nol derajat (atau garis nol atau garis wujudul hilaal) menjadi sangat penting. Titik-titik yang terletak di sebelah barat garis telah memenuhi syarat wujudul hilal ketimbang titik-titik di sebelah timur garis. Sehingga, titik-titik di sebelah barat garis memasuki bulan kalender Hijriah yang baru terlebih dahulu dibanding titik-titik di sebelah timur garis.


Namun, prinsip itu belakangan tak digunakan lagi. Sejak 2011, Muhammadiyah mencoba mengaitkan 'kriteria'-nya dengan upaya internasionalisasi kalender Hijriah yang dipahami sebagai pembentukan rumusan satu hari setara satu tanggal Hijriah dan setara dengan satu tanggal Masehi (Tarikh Umum) di segenap penjuru Bumi.


Untuk itu diadopsi satu prinsip baru: transfer wujudul hilaal atau naklul-wujud, yang dinyatakan secara terbuka sejak 2013 ini. Dalam prinsip ini, titik-titik yang berada di sisi timur garis diperkenankan untuk menyamakan dirinya dengan titik-titik di sebelah barat garis. Sehingga, awal bulan kalender Hijriah yang baru akan berlangsung serempak baik bagi titik-titik di sebelah barat, maupun sebelah timur garis. Inilah yang bakal berlaku pada Ramadhan 1434 H ini.


Jika merujuk peta, garis nol 8 Juli 2013 membelah wilayah Indonesia menjadi dua bagian. Bagian barat yang mencakup seluruh pulau Jawa, Bali, kepulauan Nusa Tenggara dan Sumatera (kecuali Aceh dan sebagian Sumatera Utara) telah memenuhi syarat wujudul hilal. Namun, bagian timurnya, yang meliputi Aceh, Sumatera Utara serta seluruh pulau Kalimantan, Sulawesi, Irian dan Kepulauan Maluku belum memenuhi syarat wujudul hilaal.


Dengan prinsip naklul-wujud, maka pada daerah-daerah tersebut tetap berlaku 1 Ramadhan pada Selasa 9 Juli 2013, meskipun sejatinya di sana Bulan telah sepenuhnya terbenam tatkala Matahari terbenam.


Lain halnya dengan al-Mansyuriyah yang berpusat di Cakung (Jakarta). Meski berdasar rukyat, namun sejatinya telah dikompromikan dengan hisab dan kemudian disesuaikan. Sistem hisab ini berpegang pada kitab Sullam al-Nayyirain, buah karya Guru Muhammad Mansyur dari Jembatan Lima (Jakarta) pada 1925 M silam, berdasarkan data elemen posisi Bulan dari masa Ulugh Beg (lima abad silam) yang dibawa ke Indonesia oleh Syeh Abdurrahman bin Ahmad dari Mesir pada tahun 1896 M. Kitab ini merinci perhitungan-perhitungan sederhana untuk menentukan waktu konjungsi, Gerhana Bulan dan Gerhana Matahari. 'Tinggi' Bulan dihitung secara sederhana sebagai umur Bulan (sejak konjungsi hingga maghrib) yang dibagi 2.


Guru Mansyur sendiri menggarisbawahi bahwa 'tinggi' Bulan yang menjadi batas minimal adalah 6 derajat. Namun, catatan ini diabaikan pada masa kini. Para penerusnya mengadopsi batas 'tinggi' Bulan yang sama dengan 'kriteria' imkan rukyat, yakni 2 derajat.


Dengan rukyat berlangsung di Jakarta, yang arah pandangnya salah satunya menyasar Bandara Soekarno-Hatta, dan menafikan eksistensi sumber-sumber cahaya pengganggu serta perukyat dengan pengalaman terbatas, maka Cakung selalu melaporkan 'berhasil' melihat hilal, meski hampir seluruh cendekiawan falak saat ini menganggap yang terjadi adalah kasus salah lihat.


Sebagai gambaran, betapa terganggunya langit Jakarta oleh polusi cahaya gila-gilaan, tak ada fenomena langit senja/malam yang bisa diamati dari ibu kota terkecuali Bulan, Venus dan Jupiter.


Dalam menyelenggarakan aktivitasnya, Planetarium Jakarta dan Himpunan Astronomi Amatir Jakarta (HAAJ) bahkan harus melangkah keluar dari daratan Jakarta, misalnya ke Kepulauan Seribu maupun Bogor.


* Muh Ma'rufin Sudibyo, Koordinator Riset Jejaring Rukyatul Hilal Indonesia & Ketua Tim Ahli Badan Hisab dan Rukyat Daerah Kebumen

Editor : Inggried Dwi Wedhaswary


Tidak ada komentar:

Posting Komentar